Filsafat konstruktivisme telah diterima secara luas dalam dunia pendidikan,
salah satunya pendidikan matematika. Pembelajaran kontekstual yang selama ini
sudah digalakkan juga merupakan akibat dari diterimanya filsafat
konstruktivisme dalam filsafat ilmu yaitu melalui pendidikan. Dalam filsafat
konstruktivisme, salah satu ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah
bahwa belajar harus dalam situasi latar (setting) yang realistik. Namun, banyaknya
guru yang memandang karakteristik matematika secara kurang menyeluruh
mengakibatkan kebanyakan pembelajaran yang dilakukan tidak mempunyai makna bagi
siswa dan hal ini juga diakibatkan kurangnya penerapan pembelajaran
konstruktivis tersebut.
Persepsi seorang guru terhadap matematika akan mempengaruhi
bagaimana pembelajaran matematika yang akan dilakukan kepada siswanya. Pemahaman
yang tidak utuh terhadap matematika sering memunculkan sikap yang kurang tepat
dalam pembelajaran, lebih parah lagi dapat memunculkan sikap negatif terhadap
matematika artinya banyak yang menganggap matematika sulit atau bahkan
menakutkan. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan pembelajaran dapat menjadi
lebih bermakna.
Matematika sebagai ilmu sesungguhnya memiliki interpretasi yang
sangat beragam. Dan karena matematika yang diajarkan di sekolah juga merupakan
bagian dari matematika, maka berbagai karakteristik matematika juga akan
menentukan persepsi guru terhadap matematika sekolah dan lebih lanjut lagi akan
mempengaruhi persepsi guru terhadap pembelajaran matematika yang akan diajarkan
kepada siswanya. Dengan memahami karakteristik matematika, guru diharapkan
dapat mengambil sikap yang tepat dalam pembelajaran matematika. Lebih jauh
lagi, guru seharusnya memahami batasan sifat dari matematika yang dibelajarkan
kepada anak didik. Jangan sampai guru memandang matematika hanya sebagai
kumpulan rumus belaka, tidak pula hanya sebagai proses berpikir saja.
Kenyataan yang terjadi saat ini, banyak orang bahkan banyak guru
dan peneliti dalam matematika yang memandang matematika sebagai pelajaran yang
sulit dan menakutkan. Jika orang dewasa saja memandang matematika sebagai
pelajaran yang sulit, bagaimana dengan anak-anak??? Maka sebagai seorang
pendidik yang khususnya mengajarkan matematika, maka persepsi kita terhadap
matematika sekolah juga harus benar dan utuh. Namun, persepsi guru dan peneliti
terhadap matematika sekolah yang selama ini ada adalah sesuai dengan aliran
hilbertianisme. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya guru dan peneliti dalam
matematika sekolah yang menyamakan antara karakteristik matematika sendiri
dengan matematika sekolah. Padahal karakteristik matematika selama ini ada
dalam kebanyakan pikiran guru dan peneliti adalah karakteristik matematika yang
dipakai dalam perguruan tinggi. Jika persepsi tersebut sesuai dengan hilbert
maka matematika akan menjadi tidak bermakna bagi siswa sekolah dimana siswa
masih membutuhkan pembelajaran bermakna yang dapat dibangun dengan pembelajaran
konstruktivisme.
Pertanyaan:
1. Bagaimana
mengubah pandangan guru, peneliti dan beberapa orang dewasa yang memandang
karakteristik matematika sesuai dengan aliran hilbertianisme sehingga
pembelajaran konstruktivisme yang bermakna bagi siswa dapat dilaksanakan?
2. Apakah
berpikir tingkat tinggi hanya dapat dilakukan bagi pure matematika saja?
Bagaimana dengan beberapa siswa yang mampu menyelesaikan masalah non rutin yang
berupa teka-teki kehidupan nyata, apakah siswa tersebut tidak melakukan
berpikir tingkat tinggi???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar