A.
PENDAHULUAN
Metafisika merupakan cabang filsafat yang
mempelajari tentang penjelasan asal atau hakekat objek fisik yang ada di dunia
dimana di dalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan atau realitas.
Metafisika juga menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari
suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apakah tempat manusia di alam semesta?. Ahli
metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai
dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab
akibat, dan kemungkinan.
Penggunaan istilah metafisika telah berkembang dan
tertuju pada hal-hal di luar dunia fisik. Menurut Nicolai Hartman, metafisika
adalah tempat khusus bagi objek-objek transenden, daerah spekulatif bagi
tanggapan-tanggapan tentang Tuhan, kebebasan, dan jiwa, sebagai pangkalan bagi
sistem-sistem spekulatif, teori-teori dan tanggapan dunia terhadap sesuatu yang
eksistensinya di luar dimensi fisik-empirik.
Manusia juga mempunyai beberapa pendapat tentang
metafisika. Pendapat pertama tentang alam yang menyatakan bahwa terdapat
hal-hal ghaib yang sifatnya lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Pemikiran ini disebut supernaturalisme. Namun terdapat satu paham yang
bertentangan dengan pahan supernaturalisme yaitu paham naturalisme. Paham
naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat ghaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat di alam itu
sendiri yang dapat dipelajari dan diketahui. Penganut paham naturalisme
beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanya
logika akal saja, sehingga mereka menolak hal-hal yang bersifat ghaib. Dari
paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap alam
semesta dan manusia berasal dari materi.
Penafsiran yang juga saling bertentangan adalah
paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam
termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan
kaum vitalistik menganggap hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara
substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika saja namun juga mengenai
akal dan pikiran. Dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling bertentangan
yaitu paham monoistik dan dualistik. Paham monoistik berpendapat bahwa tidak
ada perbedaan antara pikiran dan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang
disebabkan oleh proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama.
Namun pendapat ini ditolak oleh kaum dualistik yang mengatakan bahwa dalam
metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan pikiran yang bagi
mereka juga berbeda secara substantif. Aliran ini berpendapat bahwa yang
ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental, maka yang bersifat nyata adalah
pikiran sebab dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada.
Dai uraian diatas, maka dalam makalah ini akan
dibahas mengenai pandangan metafisika Islam terhadap kehidupan di era
globalisasi yang akhir-akhir ini mengalami krisis dalam segala dimensi.
B.
PENGANTAR DAN PENGERTIAN METAFISIKA
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philien
yang artinya mencintai dan shopia yang artinya kearifan, kebijaksanaan,
hikmat, kebenaran. Jadi filsafat adalah hal mencintai kearifan, kebijaksanaan,
hikmat, kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Objek pemikiran filsafat
adalah segala sesuatu dari yang ada dan yang mungkin ada. berfilsafat berarti
puncak dari berpikir manusia yang belajar dan menyelidiki segala hal dan
mencari kebenaran hakiki dan secara normatif dalam Islam, berpikir sangat
penting dan dianjurkan untuk mencapai hakikat sesuatu.
Islam mengakui bahwa disamping
kebenaran hakiki yang datang dari Tuhan, masih ada kebenaran relatif yang dapat
diperoleh manusia melalui pemikiran atau akal budi manusia. Akal merupakan
anugrah Tuhan kepada manusia yang dapat menjadikan manusia lebih mulia, atau
dapat juga sebaliknya yaitu lebih buruk dibandingkan makhluk lain. Sehingga hal
yang logis bagi manusia untuk mencapai kebenaran yang relatif. Meskipun sifat
kebenaran ini relatif, namun selama kebenaran relatif tersebut tidak
bertentangan dengan Al Quran dan sunnah Rasul dalam Islam, maka kebenaran akal
dapat dijadikan pegangan dalam meraih kemuliaan dan pedoman hidup. (QS. 39: 8).
Dalam kajian filsafat, metafisika
merupakan bagian dari aspek ontologi. Metafisika berasal dari bahasa Yunani,
yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu
dan pysika artinya nyata, kongkrit yang dapat
diukur oleh jangkauan panca indera. Metafisika merupakan bagian filsafat
mengenai hakikat yang ada di balik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di
luar jangkauan pengalaman manusia. Artinya mengenai realitas kehidupan dengan
mempertanyakan yang ada, alam ini berobjek atau tidak? Siapakah kita? Apakah
peranan kita dalam kehidupan ini?. Metafisika mengandung konsep kajian tentang
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan ilmu lain.
Menurut Aristoteles (Salam, 1988:
6-8), ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melalui 3 jenis tahapan atau
abstraksi antara lain:
-
1.
Fisika
Manusia berpikir ketika mengamati secara inderawi. Dengan berpikir, akal dan budi kita “melepaskan diri”
dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat
dirasakan”. Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal
yang bersifat umum. Akal budi manusia, bersama materi yang
“abstrak” itu, menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos”
= alam).
2.
Matematika
Terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari materi yang
kelihatan. Itu terjadi jika akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu
pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis
abstraksi ini disebut “matesis” atau
pengetahuan, ilmu.
3.
Teologi atau
filsafat pertama
Dengan
meng-"abstrahere" dari semua materi dan berpikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas
pembentukannya, bersifat teleologi,
asas pertama dalam mendapatkan hakikat realitas
dsb. Dalam
hal ini fisika dan matematika jelas telah ditinggalkan. Pemikiran ini menghasilkan ilmu pengetahuan
yang disebut teologi atau filsafat pertama.
Akan tetapi karena ilmu
pengetahuan ini datang sesudah fisika, maka selanjutnya disebut metafisika.
Aristoteles dalam bukunya yang
berjudul Metaphysika mengemukakan beberapa gagasannya tenteng metafisika antara
lain:
1.
Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang
mencari prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
2.
Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai
yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
3.
Metafisiska sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling
luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini
sering disebut dengan theologia.
Metafisika mengandung Klasifikasi yang
meliputi Pertama, Metaphysica Generalis (ontologi): ilmu tentang yg ada atau pengada. Kedua,
Metaphysica Specialis terdiri atas: 1) antropologi:
menelaah tentang hakikat manusia terutama hubungan jiwa dan raga, 2) kosmologi: menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam
semesta, 3) theologi: kajian tentang
Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat
pada-Nya.
Menurut Bakker (1992: 15), kedudukan
metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah
cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, dalam telaah filosofis terdapat unsur metafisik yang
merupakan hal yang siginifikan dalam kajian
filsafat. Ini tentu sejajar dengan signifikansinya yang menyebut bahwa filsafat
adalah induk dari segala ilmu. Oleh karena
itu, dalam mempelajari suatu ilmu maka harus disertai dengan filsafat yang di
dalamnya juga harus mempelajari tentang metafisika.
C.
FILSAFAT METAFISIKA AGAMA ISLAM
Ilmu filsafat tidak akan pernah
lepas dari metafisika. Menurut Bakar (1997: 120), ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika
karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat
tertinggi dalam hierarki wujud. Secara religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat dan secara filosofis, objek ini merujuk pada sebab pertama, sebab kedua, dan intelek aktif. Filsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis,
analitis, rasional) tentang gejala agama
yaitu hakekat agama
sebagai objek dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan
Yang Suci. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya
adalah untuk menegakkan fondasi teologis dan tauhid secara benar karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.
Kekokohan konsepsi metafisika agama Islam dimaksudkan untuk menjawab
tantangan pendapat para pendukung materialisme khususnya positifisme yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang
kedua hal tersebut adalah hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap
pemikir agama harus melakukan atau minimal menjawab dua hal pokok yang menjadi
tantangan kaum meterialistik yang tidak meyakini hal-hal
yang suprainderawi
yaitu:
1.
Pemikir agama harus mampu membuktikan
keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala
eksistensi materi alam semesta.
2.
Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat
non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam semesta yang luas ini.
Metafisika berbeda dengan kajian-kajian tentang objek partikular yang ada
pada alam semesta. Biologi mempelajari objek dari organisme
bernyawa, geologi mempelajari objek bumi, astronomi mempelajari objek
bintang-bintang, fisika mempelajari objek perubahan pergerakan dan perkembangan
alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama
oleh semua objek ini yang dipandu oleh dimensi keilahian untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya. (Tule, 1995: 202-203)
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika
dalam perkembangan pemikiran Islam.
Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi
falsafat metafisika dalam wacana
pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh
falsafah metafisika sehingga Islam menjadi agama yang memiliki bentuknya
yang komprehensif. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang
menyangkut hal-hal sebagai berikut
bagaimana pemikir Islam merumuskan hakekat metafisis akal dan jiwa (hakekat metafisis manusia), bagaimana pemikir muslim merumuskan hakekat metafisis objek (metafisika ketuhanan), dan bagaimana pemikir-pemikir muslim
mengkonsepsikan hekakat metafisis falsafat wahyu dan nabi dan lain sebagainya. Pada
hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada
hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir
muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad
menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber
rujukan.
Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari
pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western
science, falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg
dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi
keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih
komprehensif. Kebenaran-kebenaran
dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan
sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel,
dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa
kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti,
dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat
dijelaskan secara filosofis. Misalnya unsur air (H2O) Asam
Klorida (HCl) Besi (Fe) dan lain sebagainya.
Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum
yang secara konseptual riil seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum
fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama
tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara
filosofis nampaklah sangat sempurna alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu
sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka
ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin
meningkat. Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama
menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis, maka ajaran agama
juga sekedar pil
yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya
oleh umat beragama. Dengan metafisika ilmiah ini kita bisa melihat
bahwa tanpa adanya
agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.
D.
METAFISIKA DALAM ERA GLONALISASI
Menurut Al-Attas (2010), masalah
kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan
masyarakat modern di era globalisasi saat ini. Kekeliruan ini disebabkan
masuknya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban barat ke dalam ilmu
kontemporer khususnya dalam bidang pendidikan. Akibat dari kekeliruan ilmu ini
adalah munculnya tindakan manusia yang keliru juga sehingga menghilangkan
kemampuan manusia untuk melakukan tindakan yang benar (loss of adab).
Tindakan ini akan memberikan kesengsaraan bagi manusia sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan semakin majunya sains dan teknologi di era ini, manusia bukan
meraih kebahagiaan melainkan merasakan keresahan dan kekeringan jiwa serta
kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit,
bencana alam, degradasi moral, kriminalitas dan peperangan terus menerus
terjadi.
Parahnya, paham sekuler sudah
menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya diajarkan
di sekolah-sekolah. Sehingga semua ilmu dibangun dalam kerangka rasionalisme dan
empirisisme. Salah satu ilmu yang terpengaruh oleh paham ini adalah ilmu fisika.
Oleh karena itu, ilmu fisika perlu mendapatkan masukan mengenai keislaman.
Islamisasi fisika bukan mengislamkan teori Newton atau relativitas menjadi
suatu teori gerak baru. Bukan pula menserasikan Al Quran dengan temuan fisika
terkini, namun yang dimaksud dengan islamisasi fisika disini adalah islamisasi
filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori fisika tersebut yang
berangkat dari metafisika mengenai hakikat alam semesta.
Kesadaran manusia tentang keyakinan
dapat dijelaskan dengan hal berikut. Dunia ini terkadang tidak sesuai dengan
pandangan kita tentang dunia sendiri. Inilah yang menjadi kritik utama atas
perkembangan empirisme dan positivisme modern yang paling mendasar. Artinya
adalah kemampuan indera manusia sangat terbatas dan ada kemungkinan untuk
menyimpang dari kebenaran. Sebagai contoh sederhana: kita biasa bicara tentang
matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak secara inderawi bahwa matahari
bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempatnya. Baru setelah
beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesungguhnya dibalik penampakan, bumi
yang bergerak mengelilingi matahari dan bukankah berarti matahari tidak pernah
terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam? Apakah malam itu juga ada
seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan
malam itu tidak ada? inilah masalah yang tidak mungkin bisa dijawab oleh fisika
dan matematika dan seharusnya ditelusuri melalui konsep metafisika.
Sekularisasi juga telah menyebabkan
penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena empiris dan melepaskan
kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Layaknya mesin, alam bekerja sendiri
berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan.
Sekiranya Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan
dunia), Tuhan tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam.
Lalu manusialah yang kemudian menjadi Tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah
manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.
Berbeda dengan paham sekular, semua
konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua
urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan Islam mengenai
alam. Di dalam Islam, alam bukan sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda
(ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti
dan mempelajari fisika berarti ia sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini
ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 yaitu orang-orang yang
mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka
memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami,
tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka
peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Ayat di atas menegaskan bahwa
kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian
alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua
kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik
inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan (tauhid). Oleh karena itu dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika
untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan
memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak
mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu
fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari
keimanan dan pengabdian kepada Allah.
Sebaliknya di Barat, tidak sedikit
ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan,
bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18,
ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta
menjawab, ”Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan
itu.” Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi,
sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan
kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta. (Brief History of Time)
Di negeri Muslim seperti Indonesia,
walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai
ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split
personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular
selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama
adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya
dengan sains yang rasional dan empiris.
Dalam ajaran Islam, kehidupan manusia di dunia jauh
lebih singkat daripada kehidupan di akhirat. Dengan lebih singkatnya kehidupan manusia
di dunia maka muncullah pertanyaan, kemanakah kehidupan yang singkat ini akan
diarahkan? Pertanyaan ini terkadang menjadi sesuatu yang diremehkan oleh
sebagian orang. Namun pertanyaan ini akan menjadi penting jika kita telah
melihat kondisi umat Islam di dunia yang sedang dilanda krisis kehidupan.
Sebagian besar orang muslim di dunia khususnya di Indonesia semakin hari maka
identitasnya semakin mengarah kepada kehidupan barat. Dalam istilah lain
disebut kebarat-baratan atau westernisasi. Westernisasi ini terjadi dalam aspek
yang mendasar yaitu pada pola pikir manusia sendiri. Jika hal ini terjadi maka
yang perlu kita perhatikan lebih dalam lagi dari krisis kehidupan ini adalah
krisis keilmuan yang tidak lagi memperhatikan wahyu Ilahi sebagai landasan
filosofinya.
Sesungguhnya, krisis kehidupan yang terjadi dalam diri
umat Islam sekarang ini disebabkan karena mereka belum sadar tentang apa yang
disebut dengan metafisika. Umat Islam wajib memahami metafisika karena
pandangan mengenai hakikat dan alam terangkum dalam suatu kerangka metafisik.
Jika kita tidak memahami kerangka metafisik kita sendiri, kemungkinan besar
kita akan keliru dan terperosok ke dalam pandangan lain mengenai alam dan
hakikat yang berbeda yang tidak sesuai dengan jiwa kita, bahkan yang tidak
benar. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai umat Islam untuk memahami apa
yang disebut metafisika dalam bingkai Islam.
Banyak para ulama’ dikebanyakan negara muslim yang
memandang bahwa hidup adalah dengan melihat dunia ini. Tetapi bagi umat Islam,
khususnya bagi mereka yang cerdas akan mengetahui bahwa kata dunia tidak
dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari kata akhirat, sebagaimana Islam dan
Al Qur’an memandangnya. Ketika Islam berbicara tentang worldview, kita
tidak bermaksud melihat dunia ini. Yang kita maksudkan adalah pandangan akan
kenyataan dan kebenaran sekaligus, serta pandangan mengenai keberadaan secara
keseluruhan, tidak hanya keberadaan di dunia, tetapi tentang dunia dimana kita
berasal dan tentang dunia dimana kita akan menuju. Jadi, jika umat Islam tidak
mengambil pelajaran dari hal ini maka mereka pasti akan sesat dalam memandang
sesuatu, yaitu dalam hal kemimanan serta agama.
Sistem metafisik mengkaji tentang sesuatu yang ada
dalam pikiran. Jadi dalam memandang sesuatu yang ada di dunia, hendaknya juga
disertai dengan pandangan metafisik yang berada dari dalam pikiran manusia.
Menurut pemikiran sebagian teknokrat, segala yang bersifat pragmatis adalah hanya yang berurusan dengan apa yang
di luar pikiran atau bersifat fisik saja sedangkan hal-hal yang berada dalam
pikiran adalah tidak penting. Dan inilah yang sekarang melanda bangsa kita,
dimana pragmatisme, hedonisme, kapitalisme mempengaruhi umat Islam yang
bertentangan dengan metafisika Islam.
Suatu cerita singkat mengenai pentingnya metafisika
dalam kehidupan manusia. Perselisihan antara kelompok seniman dari Yunani dan
China yang memperselisihkan mengenai hal yang sama. Mereka berdua menyatakan
bahwa mereka adalah seniman terbaik di dunia. Kemudian ada seorang penguasa
yang berkata, “Biar saya yang memutuskan siapa yang lebih baik diantara kalian
berdua. Karena itu anda harus bersaing di tempat yang luas ini tetapi dengan
dipisahkan oleh tembok pembatas untuk kalian berdua dalam melakukan pekerjaan
kalian masing-masing. Saya akan menyediakan semua yang kalian perlukan dan bila
telah selesai, saya akan menilainya dan memutuskan siapa yang terbaik.” Setelah
pekerjaan seniman tersebut selesai, penguasa tersebut memerintahkan untuk
merobohkan tembok pemisah yang memisahkan dua kubu. Ketika ia melihat ke kiri
(karya China), ia melihat sebuah keindahan menakjubkan, warna dan desain yang
rumit serta ukiran-ukiran, hati penguasa tersebut tertegun melihat keindahan
yang ada. sedangkan ketika ia melihat sisi yang lain di sebelah kanannya (karya
Yunani), yang dia lihat hanyalah sebuah papan yang sangat tinggi terbuat dari
marmer putih tetapi dia tidak melihat marmer tersebut. Sebaliknya, yang ia
lihat adalah karya seniman China yang tercermin disana yang telah diperindah
sehingga apa yang ada pada pihak China tampak di dalam karya pihak Yunani.
Jadi, ketika ia melihat hal tersebut, ia sesungguhnya melihat bahwa hasil kerja
seniman Yunani lebih menakjubkan dari pekerjaan seniman China karena karya
seniman Yunani tidak hanya berisi materi fisik tetapi juga non-fisik.
Demikianlah keberadaan pikiran manusia, dengan kata
lain, ia bersifat kedua-duanya baik fisik maupun non-fisik. Sebenarnya, kata
fisik berasal dari “mind”. Jadi, karena hal inilah seharusnya tidak ada
seorangpun yang memperhinakan peran pikiran dalam memandang kehidupan. Dalam
kasus masyarakat barat, mereka tidaklah meremehkan pikiran (mind),
tetapi yang mereka lakukan adalah memperhinakan metafisika. Mereka telah
mengabaikan banyak hal yang sebenarnya merupakan karakteristik dari pikiran,
seperti intuisi dan agama. Mereka telah mengabaikan hal-hal ini dan ironisnya
kita tampaknya telah melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan.
Dunia tidak terdiri dari para ilmuwan dan teknokrat
saja. Teknokrat dan ilmuwan tidak akan ada tanpa adanya orang-orang yang
benar-benar berpikir, yang dari pikiran mereka menghasilkan suatu karya. Oleh
karena itu, harga diri suatu bangsa manapun tidak tergantung pada
bangunan-bangunan (infrastruktur fisik), kita telah melihat betapa banyak
bangsa-bangsa di masa lalu telah membangun bangunan-bangunan yag megah, sampai
disebut sebagai tujuh keajaiban dunia, tetapi bukan karena bangunannya yang
membuat mereka menjadi bangsa besar. Mangunan-bangunan tersebut hanyalah sebuah
efek dari sesuatu yang lebih besar dari itu. Sekali lagi, ini berkaitan dengan
apa yang ada dalam pikiran, seperti yang ditangkap dalam kasus marmer di atas,
hal inilah yang membuat mereka besar, yang membuat orang selalu ingat. Jadi
tidak ada kaitannya dengan pembangunan gedung-gedung yang tinggi.
Ide tentang pembangunan yang mana semua Muslim
sekarang ini juga menggunakannya dan tidak disadari bahwa tidak ada istilah
yang sepadan dalam bahasa Negara Muslim manapun. Dalam bahasa melayu sendiri, kata
pembangunan pada hakikatnya adalah sebuah ide atau gagasan yang asing. Bahkan
mungkin, untuk peradaban timur secara keseluruhan adalah hal yang aneh, karena
gagasan pembangunan menunjukkan jenis evolusi yang linier, sejenis proses dari infantility
ke maturity.
Begitulah, bagaimana orang-orang sekuler menafsirkan
diri mereka sendiri bagaimana “untuk menjadi dewasa dan berkembang”, yang mana
ini merupakan bahasa yang sering digunakan manusia Barat modern yang sekuler.
Bahkan ketika kita menggunakan istilah ini, sebenarnya kita telah mengakui presuposisi
hegemoni Barat, yaitu seolah-olah kita menyatakan bahwa “kami telah menyerahkan
diri kami”.
Jadi, ketika kita berkata “pembangunan”, ini
menunjukkan bahwa kita tidak sedang “bangun”, tetapi kita msih tertidur, kita
telah dibodohi, inilah arti sebenarnya dari “pembangunan” yang dimaksudkan.
Jadi dalam hal ini, ketika kita sebagai umat Islam berbicara tentang metafisika
dalam Islam, kita seharusnya merujuk pada visi tentang kenyataan dan kebenaran
sekaligus yang ada dalam pikiran umat Islam yang cerdas. Ia berada dalam
pikiran manusia yang diproyeksikan ke dalam dunia nyata.
E.
MANFAAT METAFISIKA
Menurut Bakker (1992) manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu
pengetahuan baik ilmu pengetahuan sains maupun ilmu pengetahuan berbasis keagamaan adalah sebagai berikut:
1. Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah
ketika kumpulan kepercayaan belum
lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar antara lain:
metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis. (Kuhn)
2.
Metafisika
mengajarkan cara berpikir yang serius terutama dalam menjawab problem yang
bersifat enigmatik (teka-teki) sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu
yang mendalam. (Kennick)
3.
Metafisika
mengajarkan sikap open-ended sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk
temuan dan kreativitas baru. (Kuhn)
4.
Perdebatan
dalam metafisika melahirkan berbagai aliran seperti: monisme, dualisme,
pluralisme, sehingga memicu proses
ramifikasi berupa lahirnya percabangan ilmu. (Kennick)
5.
Metafisika
menuntut orisinalitas berpikir karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan
menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan
untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. (Van Peursen)
6.
Metafisika
mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First
principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. (Rene Descartes)
7.
Manusia yang
bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada, artinya manusia memiliki kebebasan
untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan
dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak
lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat
dengan nilai. (Bakker)
8. Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara
pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi
antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis tetapi juga
antar disiplin ilmu sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan. (Bakker)
F.
KESIMPULAN
Metafisika berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu
dan pysika artinya nyata, kongkrit yang dapat
diukur oleh jangkauan panca indera. Jadi metafisika merupakan bagian filsafat
mengenai hakikat yang ada di balik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di
luar jangkauan pengalaman manusia.
Metafisika sangat penting dalam
filsafat dan pemikiran manusia mengenai
alam semesta tidak dapat hanya mengandalkan abstraksi fisika dan matematika
semata, hal ini dikarenakan:
1. indera manusia memiliki keterbatasan dalam melakukan eksperimen dan menyingkap
segala eksistensi materi alam semesta, dan
2. terdapat hal-hal yang bersifat non inderawi yang memiliki
eksistensi riil dalam kehidupan di alam semesta ini.
Konsepsi
Islam terhadap metafisika berpedoman pada hal-hal yang bersifat ghaib dan
pemikiran manusia dalam hal metafisika mempunyai kebenaran yang relatif. Namun
kebenaran relatif ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Al
Quran dan Sunnah Rasul. Selain itu tujuan pembahasan metafisika dalam filsafat
adalah untuk membangun sistem di alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama
dengan tuntutan akal karena dengan tidak adanya metafisika maka manusia tidak
mungkin percaya adanya Tuhan.
Jika kita
melihat secara intensif dan ekstensif terhadap kehidupan di dunia ini sepanjang
era globalisasi, maka sebagian besar manusia sudah mulai meninggalkan
metafisika dan hanya berlandaskan fisika dan matematika saja. Banyak manusia
bahkan ilmuwan yang sudah mulai terpengaruh oleh paham sekular yang memisahkan
antara kehidupan dunia dan agama bahkan menganggap agama dapat menghambat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang menimbulkan
terjadinya krisis multi dimensi dalam kehidupan manusia. Pahan sekular juga
menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sehingga hanya berpatokan
pada empirisme dan positivisme. Dengan pengaruh dari paham sekular maka manusia
berpikir bahwa manusialah yang mengendalikan alam semesta. Oleh karena itu
perlu adanya metafisika Islam yang berlandaskan tauhid untuk membatasi
eksplorasi yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu pengetahuan dalam alam
semesta ini.
Dalam era
globalisasi, westernisasi juga merebak dalam setiap individu di dunia bahkan di
negara Indonesia. Pragmatisme, hedonisme, kapitalisme juga turut andil dalam
menyebarkan pengaruh negatif terhadap aspek kehidupan di dunia yang bahkan bertentangan
dengan metafisika Islam. Untuk mengatasi krisis multi dimensi ini, manusia
harus memulainya dengan berpikir secara kritis terhadap segala fenomena yang
terjadi, salah satunya adalah dengan berpikir secara filsafati yang didalamnya
terdapat metafisika khususnya metafisika Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas. (2010). Islam dan
Sekularisme.
Bakar, Osman. (1997). Hierarki Ilmu
Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.
Bakker, Anton. (1992). Ontologi
Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta:
Kanisius.
Dahlan, Abdul Aziz. (2008). Pemikiran Falsafah dalam Islam.
Jakarta: Djambatan.
Gahral Adian, Donny. (2001). Matinya Metafisika Barat.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Salam, Burhanuddin. (1988). Filsafat Manusia. Jakarta: Bina Aksara.
Siswanto, Joko. (1998). Sistem-Sistem Metafisika
Barat. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Titus, Harold, dkk. (1986). Persoalan-Persoalan
Filsafat, terj. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Tule, Rhomo Philipus, (ed.). (1995). Kamus
Filsafat. Bandung: Rosda.