Sabtu, 12 Januari 2013

RAMALAN JAYABAYA TERHADAP BANGSA INDONESIA


Dari wikipedia bahasa Indonesia, Ramalan Jayabaya atau Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Prabu Jayabaya, raja kerajaan Kadiri. Ramalan ini secara khusus dikenal di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga melalui kitab musasar. Prabu Jayabaya melihat sejarah bukan hanya melihat masa lalu saja, tetapi juga melihat jauh ke masa depan. Hal ini sejalan dengan pendapat modern yang mengatakan bahwa masa lalu yang kita pelajari melalui sejarah, akan bermakna jika berguna atau bermanfaat bagi masa depan.
Keadaan bangsa Indonesia pada saat ini khususnya dalam era globalisasai dimana semua unsur-unsur budaya asing yang kebanyakan mempunyai pengaruh negatif telah menjadikan bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi atau krisis dalam berbagai aspek kehidupan. Bukan hanya itu saja, berbagai bencana juga melanda bangsa Indonesia mulai dari gempa, tsunami, longsor, banjir bandang dan masih banyak lagi bencana alam lain. Jika dihubungkan dengan Ramalan Jayabaya dan kita selidiki secara mendalam, maka banyak dari ramalan-ramalan Jayabaya yang sudah terbukti dengan adanya fenomena krisis dan bencana yang telah terjadi di negara Indonesia. Lalu, apakah semua yang telah terjadi terhadap bangsa kita akhir-akhir ini membuktikan bahwa ramalan itu benar? Ataukah hanya kebetulan saja?
Sebagai seorang muslim, maka kita tidak boleh percaya begitu saja dengan ramalan apapun. Karena semua yang terjadi di dunia ini adalah kehendak yang kuasa dan apa yang akan terjadi nanti selalu akan menjadi rahasia Ilahi dimana tidak seorangpun di dunia ini yang mengetahuinya. Nemun jika kita menjadikan Ramalan Jayabaya sebagai suatu pembelajaran diri mengenai kehidupan masa lalu, kehidupan sekarang dan kehidupan masa yang akan datang, maka itu akan sangat bermanfaat dalam memperbaiki kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut Lelono (Gramedia Pustaka Utama, 1999), Bung Karno menggunakan kepercayaan masyarakat akan Ramalan Prabu Jayabaya untuk membangkitkan semangat keberanian yang tinggi di kalangan rakyat pada masa perjuangan. Jadi tidak heran, jika hingga kini getar suara Bung Karno itu masih terasa di denyut nadi perjuangan kita, dan sosoknya pun seperti masih bernyawa. Beberapa fakta secara garis besar yang dapat ditafsirkan sehubungan dengan Ramalan Jayabaya terhadap keadaan bangsa Indonesia adalah sebagai berikut.
1.      Merajarelanya korupsi di tanah air, dalam berbagai bentuk, tingkatan jabatan dan kekuasaan. Ini menandakan bahwa harta kekayaan berupa uang masih menjadi orientasi politik kekuasaan, baik itu dilakukan oleh elite politik maupun oleh masyarakat.
2.      Tidak adanya kepastian hukum. Upaya penegakan hukum masih terbentur pada kepentingan politik tertentu sehingga membawa akibat pada titik terlaksananya keadilan, juga yang lebih serius adalah tidak ditegakkannya hak asasi manusia dalam hukum.
3.      Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sosok pemimpinnya. Kecenderungan para pemimpin negara yang mementingkan diri sendiri, mengejar kehendaknya sendiri dan tidak pro rakyat berdampak pada keengganan rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam berpolitik.
4.      Kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Konversi minyak dan kenaikan tarif tol yang berorientasi kepada kepentingan ekonomi pejabat negara. Orientasi politik elite negeri yang hanya mementingkan segelintir orang terbaca jelas dalam kebijakan-kebijakan yang dilakukan. Inilah ‘wahyu setan’ seperti yang dikatakan Prabu Jayabaya.
5.      Moralitas yang tercabik dan kesejahteraan sosial yang terbengkalai. Munculnya berbagai aksi kejahatan, pemerkosaan, perceraian, saling memfitnah, isu dan gosip, sampai isu separatisme dan disintegrasi menjadi indikasi yang jelas akan hal tersebut.
6.      Kemiskinan secara ekonomis. Kemelut ekonomi masih mendera kehidupan masyarakat, sementara tuntutan negara terhadap masyarakat melambung tinggi di luar batas kemampuan. Misalnya semakin besarnya jumlah pajak, mahalnya bahan-bahan pokok atau vital seperti sandang dan pangan. Hal ini semakin diperparah dengan situasi atau kondisi alam yang tidak memungkinkan, seperti kekeringan yang berkepanjangan dan ketakutan akan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi dan tsunami.
Ramalan Jayabaya yang selalu menjadi pertanyaan bagi bangsa Indonesia adalah tentang siapakah satria piningit yang akan mensejahterakan kehidupan rakyat Indonesia. Dimulai dari Sukarno, Suharto, Habibie, Gus Dur, sampai Susilo Bambang Yudhoyono, semua diharapkan menjadi satria piningit bagi bangsa Indonesia. Namun banyak masyarakat Indonesia yang kecewa dan akan terus menanti tokoh pemimpin yang mampu mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur sehingga pemimpin Indonesia dilabelkan oleh masyarakat sebagai bukan satria piningit. Jika demikian, ramalan Jayabaya hendaknya dapat kita anggap sebagai suatu nasehat bagi seluruh bangsa Indonesia untuk senantiasa aktif bekerja keras membuat tatanan Indonesia yang lebih baik, bukan hanya diam menunggu kehadiran satria piningit seperti dalam ramalan Jayabaya.

Pertanyaan:
Jika dilihat dari kacamata filsafat, apakah Prabu Jayabaya merupakan seorang filsuf yang bisa menembus ruang dan waktu?

Senin, 07 Januari 2013

PANDANGAN METAFISIKA ISLAM TERHADAP HIDUP DI ERA GLOBALISASI

A.    PENDAHULUAN
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang penjelasan asal atau hakekat objek fisik yang ada di dunia dimana di dalamnya juga menjelaskan tentang keberadaan atau realitas. Metafisika juga menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apakah tempat manusia di alam semesta?. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Penggunaan istilah metafisika telah berkembang dan tertuju pada hal-hal di luar dunia fisik. Menurut Nicolai Hartman, metafisika adalah tempat khusus bagi objek-objek transenden, daerah spekulatif bagi tanggapan-tanggapan tentang Tuhan, kebebasan, dan jiwa, sebagai pangkalan bagi sistem-sistem spekulatif, teori-teori dan tanggapan dunia terhadap sesuatu yang eksistensinya di luar dimensi fisik-empirik.
Manusia juga mempunyai beberapa pendapat tentang metafisika. Pendapat pertama tentang alam yang menyatakan bahwa terdapat hal-hal ghaib yang sifatnya lebih tinggi atau lebih kuasa  dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran ini disebut supernaturalisme. Namun terdapat satu paham yang bertentangan dengan pahan supernaturalisme yaitu paham naturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ghaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan diketahui. Penganut paham naturalisme beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanya logika akal saja, sehingga mereka menolak hal-hal yang bersifat ghaib. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap alam semesta dan manusia berasal dari materi.
Penafsiran yang juga saling bertentangan adalah paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam termasuk makhluk hidup hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan kaum vitalistik menganggap hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika saja namun juga mengenai akal dan pikiran. Dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling bertentangan yaitu paham monoistik dan dualistik. Paham monoistik berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara pikiran dan zat. Keduanya hanya berbeda dalam gejala yang disebabkan oleh proses yang berlainan namun mempunyai substansi yang sama. Namun pendapat ini ditolak oleh kaum dualistik yang mengatakan bahwa dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan pikiran yang bagi mereka juga berbeda secara substantif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental, maka yang bersifat nyata adalah pikiran sebab dengan berpikir maka sesuatu itu akan menjadi ada.
Dai uraian diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai pandangan metafisika Islam terhadap kehidupan di era globalisasi yang akhir-akhir ini mengalami krisis dalam segala dimensi.

B.     PENGANTAR DAN PENGERTIAN METAFISIKA
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philien yang artinya mencintai dan shopia yang artinya kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran. Jadi filsafat adalah hal mencintai kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu dari yang ada dan yang mungkin ada. berfilsafat berarti puncak dari berpikir manusia yang belajar dan menyelidiki segala hal dan mencari kebenaran hakiki dan secara normatif dalam Islam, berpikir sangat penting dan dianjurkan untuk mencapai hakikat sesuatu.
Islam mengakui bahwa disamping kebenaran hakiki yang datang dari Tuhan, masih ada kebenaran relatif yang dapat diperoleh manusia melalui pemikiran atau akal budi manusia. Akal merupakan anugrah Tuhan kepada manusia yang dapat menjadikan manusia lebih mulia, atau dapat juga sebaliknya yaitu lebih buruk dibandingkan makhluk lain. Sehingga hal yang logis bagi manusia untuk mencapai kebenaran yang relatif. Meskipun sifat kebenaran ini relatif, namun selama kebenaran relatif tersebut tidak bertentangan dengan Al Quran dan sunnah Rasul dalam Islam, maka kebenaran akal dapat dijadikan pegangan dalam meraih kemuliaan dan pedoman hidup. (QS. 39: 8).
Dalam kajian filsafat, metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi. Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu dan pysika artinya nyata, kongkrit yang dapat diukur oleh jangkauan panca indera. Metafisika merupakan bagian filsafat mengenai hakikat yang ada di balik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Artinya mengenai realitas kehidupan dengan mempertanyakan yang ada, alam ini berobjek atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita dalam kehidupan ini?. Metafisika mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan ilmu lain.
Menurut Aristoteles (Salam, 1988: 6-8), ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melalui 3 jenis tahapan atau abstraksi antara lain:

  1. 1.      Fisika
    Manusia berpikir ketika mengamati secara inderawi. Dengan berpikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan”. Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
    2.      Matematika
    Terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi jika akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi ini disebut “matesisatau pengetahuan, ilmu.
    3.      Teologi atau filsafat pertama
    Dengan  meng-"abstrahere" dari semua materi dan berpikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi,  asas  pertama dalam mendapatkan hakikat  realitas dsb.  Dalam hal ini fisika dan matematika jelas telah ditinggalkan.  Pemikiran ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau filsafat pertama.  Akan tetapi  karena ilmu pengetahuan ini datang sesudah fisika, maka selanjutnya disebut metafisika.
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysika mengemukakan beberapa gagasannya tenteng metafisika antara lain:
1.      Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari prinsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama.
2.      Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan.
3.      Metafisiska sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia.

Metafisika mengandung Klasifikasi  yang meliputi   Pertama,  Metaphysica Generalis (ontologi): ilmu tentang yg ada atau pengada.  Kedua, Metaphysica Specialis terdiri atas: 1) antropologi: menelaah tentang hakikat manusia terutama hubungan jiwa dan raga, 2) kosmologi: menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam semesta, 3) theologi: kajian tentang Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.
Menurut Bakker (1992: 15), kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, dalam telaah filosofis terdapat unsur metafisik yang merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan signifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Oleh karena itu, dalam mempelajari suatu ilmu maka harus disertai dengan filsafat yang di dalamnya juga harus mempelajari tentang metafisika.

C.    FILSAFAT METAFISIKA AGAMA ISLAM
Ilmu filsafat tidak akan pernah lepas dari metafisika. Menurut Bakar (1997: 120), ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Secara religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat dan secara filosofis, objek ini merujuk pada sebab pertama, sebab kedua, dan intelek aktif. Filsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama yaitu hakekat agama sebagai objek dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan fondasi teologis dan tauhid secara benar karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. 
Kekokohan konsepsi metafisika agama Islam dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme  khususnya positifisme yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan atau minimal menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kaum meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang suprainderawi yaitu:
1.      Pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta.
2.      Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam semesta yang luas ini.
Metafisika berbeda dengan kajian-kajian tentang objek partikular yang ada pada alam semesta. Biologi mempelajari objek dari organisme bernyawa, geologi mempelajari objek bumi, astronomi mempelajari objek bintang-bintang, fisika mempelajari objek perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua objek ini yang dipandu oleh dimensi keilahian untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya. (Tule, 1995: 202-203)
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam perkembangan pemikiran Islam.  Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika  dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah  aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga Islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensif. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal-hal  sebagai berikut bagaimana pemikir Islam merumuskan hakekat metafisis akal dan jiwa (hakekat metafisis manusia), bagaimana pemikir muslim merumuskan hakekat metafisis objek (metafisika ketuhanan), dan bagaimana pemikir-pemikir muslim  mengkonsepsikan hekakat metafisis falsafat wahyu dan nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan  hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.
Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western science, falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis. Misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida (HCl) Besi (Fe) dan lain sebagainya.
Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang  secara konseptual riil seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurna alam ini. Tujuan pembahasan  metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan yang  falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis, maka  ajaran agama juga sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dengan metafisika ilmiah ini kita bisa melihat bahwa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

D.    METAFISIKA DALAM ERA GLONALISASI
Menurut Al-Attas (2010), masalah kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern di era globalisasi saat ini. Kekeliruan ini disebabkan masuknya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban barat ke dalam ilmu kontemporer khususnya dalam bidang pendidikan. Akibat dari kekeliruan ilmu ini adalah munculnya tindakan manusia yang keliru juga sehingga menghilangkan kemampuan manusia untuk melakukan tindakan yang benar (loss of adab). Tindakan ini akan memberikan kesengsaraan bagi manusia sendiri. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya sains dan teknologi di era ini, manusia bukan meraih kebahagiaan melainkan merasakan keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam, degradasi moral, kriminalitas dan peperangan terus menerus terjadi.
Parahnya, paham sekuler sudah menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya diajarkan di sekolah-sekolah. Sehingga semua ilmu dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme. Salah satu ilmu yang terpengaruh oleh paham ini adalah ilmu fisika. Oleh karena itu, ilmu fisika perlu mendapatkan masukan mengenai keislaman. Islamisasi fisika bukan mengislamkan teori Newton atau relativitas menjadi suatu teori gerak baru. Bukan pula menserasikan Al Quran dengan temuan fisika terkini, namun yang dimaksud dengan islamisasi fisika disini adalah islamisasi filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori fisika tersebut yang berangkat dari metafisika mengenai hakikat alam semesta.
Kesadaran manusia tentang keyakinan dapat dijelaskan dengan hal berikut. Dunia ini terkadang tidak sesuai dengan pandangan kita tentang dunia sendiri. Inilah yang menjadi kritik utama atas perkembangan empirisme dan positivisme modern yang paling mendasar. Artinya adalah kemampuan indera manusia sangat terbatas dan ada kemungkinan untuk menyimpang dari kebenaran. Sebagai contoh sederhana: kita biasa bicara tentang matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak secara inderawi bahwa matahari bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempatnya. Baru setelah beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesungguhnya dibalik penampakan, bumi yang bergerak mengelilingi matahari dan bukankah berarti matahari tidak pernah terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam? Apakah malam itu juga ada seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan malam itu tidak ada? inilah masalah yang tidak mungkin bisa dijawab oleh fisika dan matematika dan seharusnya ditelusuri melalui konsep metafisika.
Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena empiris dan melepaskan kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Tuhan tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah yang kemudian menjadi Tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.
Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukan sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika berarti ia sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (tauhid). Oleh karena itu dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah.
Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab, ”Yang Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu.” Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi, sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta. (Brief History of Time)
Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.
Dalam ajaran Islam, kehidupan manusia di dunia jauh lebih singkat daripada kehidupan di akhirat. Dengan lebih singkatnya kehidupan manusia di dunia maka muncullah pertanyaan, kemanakah kehidupan yang singkat ini akan diarahkan? Pertanyaan ini terkadang menjadi sesuatu yang diremehkan oleh sebagian orang. Namun pertanyaan ini akan menjadi penting jika kita telah melihat kondisi umat Islam di dunia yang sedang dilanda krisis kehidupan. Sebagian besar orang muslim di dunia khususnya di Indonesia semakin hari maka identitasnya semakin mengarah kepada kehidupan barat. Dalam istilah lain disebut kebarat-baratan atau westernisasi. Westernisasi ini terjadi dalam aspek yang mendasar yaitu pada pola pikir manusia sendiri. Jika hal ini terjadi maka yang perlu kita perhatikan lebih dalam lagi dari krisis kehidupan ini adalah krisis keilmuan yang tidak lagi memperhatikan wahyu Ilahi sebagai landasan filosofinya.
Sesungguhnya, krisis kehidupan yang terjadi dalam diri umat Islam sekarang ini disebabkan karena mereka belum sadar tentang apa yang disebut dengan metafisika. Umat Islam wajib memahami metafisika karena pandangan mengenai hakikat dan alam terangkum dalam suatu kerangka metafisik. Jika kita tidak memahami kerangka metafisik kita sendiri, kemungkinan besar kita akan keliru dan terperosok ke dalam pandangan lain mengenai alam dan hakikat yang berbeda yang tidak sesuai dengan jiwa kita, bahkan yang tidak benar. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai umat Islam untuk memahami apa yang disebut metafisika dalam bingkai Islam.
Banyak para ulama’ dikebanyakan negara muslim yang memandang bahwa hidup adalah dengan melihat dunia ini. Tetapi bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang cerdas akan mengetahui bahwa kata dunia tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari kata akhirat, sebagaimana Islam dan Al Qur’an memandangnya. Ketika Islam berbicara tentang worldview, kita tidak bermaksud melihat dunia ini. Yang kita maksudkan adalah pandangan akan kenyataan dan kebenaran sekaligus, serta pandangan mengenai keberadaan secara keseluruhan, tidak hanya keberadaan di dunia, tetapi tentang dunia dimana kita berasal dan tentang dunia dimana kita akan menuju. Jadi, jika umat Islam tidak mengambil pelajaran dari hal ini maka mereka pasti akan sesat dalam memandang sesuatu, yaitu dalam hal kemimanan serta agama.
Sistem metafisik mengkaji tentang sesuatu yang ada dalam pikiran. Jadi dalam memandang sesuatu yang ada di dunia, hendaknya juga disertai dengan pandangan metafisik yang berada dari dalam pikiran manusia. Menurut pemikiran sebagian teknokrat, segala yang bersifat pragmatis  adalah hanya yang berurusan dengan apa yang di luar pikiran atau bersifat fisik saja sedangkan hal-hal yang berada dalam pikiran adalah tidak penting. Dan inilah yang sekarang melanda bangsa kita, dimana pragmatisme, hedonisme, kapitalisme mempengaruhi umat Islam yang bertentangan dengan metafisika Islam.
Suatu cerita singkat mengenai pentingnya metafisika dalam kehidupan manusia. Perselisihan antara kelompok seniman dari Yunani dan China yang memperselisihkan mengenai hal yang sama. Mereka berdua menyatakan bahwa mereka adalah seniman terbaik di dunia. Kemudian ada seorang penguasa yang berkata, “Biar saya yang memutuskan siapa yang lebih baik diantara kalian berdua. Karena itu anda harus bersaing di tempat yang luas ini tetapi dengan dipisahkan oleh tembok pembatas untuk kalian berdua dalam melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Saya akan menyediakan semua yang kalian perlukan dan bila telah selesai, saya akan menilainya dan memutuskan siapa yang terbaik.” Setelah pekerjaan seniman tersebut selesai, penguasa tersebut memerintahkan untuk merobohkan tembok pemisah yang memisahkan dua kubu. Ketika ia melihat ke kiri (karya China), ia melihat sebuah keindahan menakjubkan, warna dan desain yang rumit serta ukiran-ukiran, hati penguasa tersebut tertegun melihat keindahan yang ada. sedangkan ketika ia melihat sisi yang lain di sebelah kanannya (karya Yunani), yang dia lihat hanyalah sebuah papan yang sangat tinggi terbuat dari marmer putih tetapi dia tidak melihat marmer tersebut. Sebaliknya, yang ia lihat adalah karya seniman China yang tercermin disana yang telah diperindah sehingga apa yang ada pada pihak China tampak di dalam karya pihak Yunani. Jadi, ketika ia melihat hal tersebut, ia sesungguhnya melihat bahwa hasil kerja seniman Yunani lebih menakjubkan dari pekerjaan seniman China karena karya seniman Yunani tidak hanya berisi materi fisik tetapi juga non-fisik.
Demikianlah keberadaan pikiran manusia, dengan kata lain, ia bersifat kedua-duanya baik fisik maupun non-fisik. Sebenarnya, kata fisik berasal dari “mind”. Jadi, karena hal inilah seharusnya tidak ada seorangpun yang memperhinakan peran pikiran dalam memandang kehidupan. Dalam kasus masyarakat barat, mereka tidaklah meremehkan pikiran (mind), tetapi yang mereka lakukan adalah memperhinakan metafisika. Mereka telah mengabaikan banyak hal yang sebenarnya merupakan karakteristik dari pikiran, seperti intuisi dan agama. Mereka telah mengabaikan hal-hal ini dan ironisnya kita tampaknya telah melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan.
Dunia tidak terdiri dari para ilmuwan dan teknokrat saja. Teknokrat dan ilmuwan tidak akan ada tanpa adanya orang-orang yang benar-benar berpikir, yang dari pikiran mereka menghasilkan suatu karya. Oleh karena itu, harga diri suatu bangsa manapun tidak tergantung pada bangunan-bangunan (infrastruktur fisik), kita telah melihat betapa banyak bangsa-bangsa di masa lalu telah membangun bangunan-bangunan yag megah, sampai disebut sebagai tujuh keajaiban dunia, tetapi bukan karena bangunannya yang membuat mereka menjadi bangsa besar. Mangunan-bangunan tersebut hanyalah sebuah efek dari sesuatu yang lebih besar dari itu. Sekali lagi, ini berkaitan dengan apa yang ada dalam pikiran, seperti yang ditangkap dalam kasus marmer di atas, hal inilah yang membuat mereka besar, yang membuat orang selalu ingat. Jadi tidak ada kaitannya dengan pembangunan gedung-gedung yang tinggi.
Ide tentang pembangunan yang mana semua Muslim sekarang ini juga menggunakannya dan tidak disadari bahwa tidak ada istilah yang sepadan dalam bahasa Negara Muslim manapun. Dalam bahasa melayu sendiri, kata pembangunan pada hakikatnya adalah sebuah ide atau gagasan yang asing. Bahkan mungkin, untuk peradaban timur secara keseluruhan adalah hal yang aneh, karena gagasan pembangunan menunjukkan jenis evolusi yang linier, sejenis proses dari infantility ke maturity.
Begitulah, bagaimana orang-orang sekuler menafsirkan diri mereka sendiri bagaimana “untuk menjadi dewasa dan berkembang”, yang mana ini merupakan bahasa yang sering digunakan manusia Barat modern yang sekuler. Bahkan ketika kita menggunakan istilah ini,  sebenarnya kita telah mengakui presuposisi hegemoni Barat, yaitu seolah-olah kita menyatakan bahwa “kami telah menyerahkan diri kami”.
Jadi, ketika kita berkata “pembangunan”, ini menunjukkan bahwa kita tidak sedang “bangun”, tetapi kita msih tertidur, kita telah dibodohi, inilah arti sebenarnya dari “pembangunan” yang dimaksudkan. Jadi dalam hal ini, ketika kita sebagai umat Islam berbicara tentang metafisika dalam Islam, kita seharusnya merujuk pada visi tentang kenyataan dan kebenaran sekaligus yang ada dalam pikiran umat Islam yang cerdas. Ia berada dalam pikiran manusia yang diproyeksikan ke dalam dunia nyata.

E.     MANFAAT METAFISIKA
Menurut Bakker (1992) manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan sains maupun ilmu pengetahuan berbasis keagamaan adalah sebagai berikut:
1.      Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah ketika  kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan historis. (Kuhn)
2.      Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki) sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. (Kennick)
3.      Metafisika mengajarkan sikap open-ended sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru. (Kuhn)
4.      Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga  memicu proses ramifikasi berupa lahirnya percabangan ilmu. (Kennick)
5.      Metafisika menuntut orisinalitas berpikir karena setiap metafisikus menyodorkan cara  berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika. (Van Peursen)
6.      Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. (Rene Descartes)
7.      Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada, artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai. (Bakker)
8.      Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis tetapi juga antar disiplin ilmu sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan. (Bakker)

F.     KESIMPULAN
Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu dan pysika artinya nyata, kongkrit yang dapat diukur oleh jangkauan panca indera. Jadi metafisika merupakan bagian filsafat mengenai hakikat yang ada di balik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia.
Metafisika sangat penting dalam filsafat dan pemikiran  manusia mengenai alam semesta tidak dapat hanya mengandalkan abstraksi fisika dan matematika semata, hal ini dikarenakan:
1.      indera manusia memiliki keterbatasan  dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta, dan
2.      terdapat hal-hal yang bersifat non inderawi yang memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam semesta ini.
Konsepsi Islam terhadap metafisika berpedoman pada hal-hal yang bersifat ghaib dan pemikiran manusia dalam hal metafisika mempunyai kebenaran yang relatif. Namun kebenaran relatif ini diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul. Selain itu tujuan pembahasan metafisika dalam filsafat adalah untuk membangun sistem di alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal karena dengan tidak adanya metafisika maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.
Jika kita melihat secara intensif dan ekstensif terhadap kehidupan di dunia ini sepanjang era globalisasi, maka sebagian besar manusia sudah mulai meninggalkan metafisika dan hanya berlandaskan fisika dan matematika saja. Banyak manusia bahkan ilmuwan yang sudah mulai terpengaruh oleh paham sekular yang memisahkan antara kehidupan dunia dan agama bahkan menganggap agama dapat menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang menimbulkan terjadinya krisis multi dimensi dalam kehidupan manusia. Pahan sekular juga menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sehingga hanya berpatokan pada empirisme dan positivisme. Dengan pengaruh dari paham sekular maka manusia berpikir bahwa manusialah yang mengendalikan alam semesta. Oleh karena itu perlu adanya metafisika Islam yang berlandaskan tauhid untuk membatasi eksplorasi yang dilakukan oleh manusia terhadap ilmu pengetahuan dalam alam semesta ini.
Dalam era globalisasi, westernisasi juga merebak dalam setiap individu di dunia bahkan di negara Indonesia. Pragmatisme, hedonisme, kapitalisme juga turut andil dalam menyebarkan pengaruh negatif terhadap aspek kehidupan di dunia yang bahkan bertentangan dengan metafisika Islam. Untuk mengatasi krisis multi dimensi ini, manusia harus memulainya dengan berpikir secara kritis terhadap segala fenomena yang terjadi, salah satunya adalah dengan berpikir secara filsafati yang didalamnya terdapat metafisika khususnya metafisika Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas. (2010). Islam dan Sekularisme.

Bakar, Osman. (1997). Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.

Bakker, Anton. (1992). Ontologi Metafisika Umum: Filsafat Pengada dan Dasar-dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Dahlan, Abdul Aziz. (2008). Pemikiran Falsafah dalam Islam. Jakarta: Djambatan.

Gahral Adian, Donny. (2001). Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu.

Metafisika. http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika. diakses pada tanggal: 25 November 2012.

Pengertian Metafisika Dalam Filsafat menurut Para Ahli. 2012.  http://www.sarjanaku.com/2012/10/pengertian-metafisika-dalam-filsafat.html. Diakses pada tanggal: 2 Desember 2012.

Salam, Burhanuddin. (1988). Filsafat Manusia. Jakarta: Bina Aksara.

Siswanto, Joko. (1998). Sistem-Sistem Metafisika Barat. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Titus, Harold, dkk. (1986). Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang.

Tule, Rhomo Philipus, (ed.). (1995). Kamus Filsafat. Bandung: Rosda.